Lady Frizzy's shout: Tips hidup di tempat yang bernama bumi; Melakukan yang Terbaik

Bertemu kamu lagi

Jakarta, aku telah tiba! Berbekal ijazah Sarjana Ekonomi yang kuperoleh dari Universitas Simalungun di Kota Pematang Siantar, aku mengadu keberuntunganku di kota yang bergedung-gedung tinggi ini. Ijazah Sarjana yang kuperoleh dengan kebanyakan bea siswa dan gaji bekerja di toko fotocopy kini menjadi alatku mencari kerja. Dan hari ini ada panggilan interview di PT. Bintang Citra Jaya, setelah seminggu yang lalu aku mengirimkan surat lamaran. Pertama kali aku melihat di koran kalau Perusahaan ini sedang membutuhkan seorang Staff Keuangan, jantungku berdegub kencang. Kalau tidak salah Tyo
bercerita di telepon kalau dia bekerja di perusahaan tersebut. Maka dengan segera aku menuliskan surat lamaran dan mengirimnya via pos. Aku sungguh tidak percaya ketika HRD perusahaan tersebut menelepon dan memintaku datang untuk melakukan interview. Bergelut dengan perasaan gembira dan juga rasa yang tidak percaya, aku kini berada di salah satu ruang di Perusahaan Bintang Citra Jaya bersama  para pelamar lain duduk tenang menanti waktu untuk melakukan interview.

   
"Kriett!" pintu berdecit, seorang wanita berpakaian sangat rapi datang membawa beberapa map. Dia mengeluarkan beberapa form dari map tersebut.
"Mbak berempat harap mengisi form ini, saya tinggal selama 15 menit, ya." ucapnya sambil  tersenyum. Kami mengangguk.

Aku dan pelamar lainnya segera menunduk menekuni form kami masing-masing. Setiap form itu selalu diawali dengan menanyakan nama. Nama, aku adalah Nessa Siahaan. Tapi Tyo selalu memanggilku Ecca. Apakah dia tahu nama asliku, entahlah, dia tidak pernah bertanya. Aku masih ingat saat dia memanggilku di depan rumah.
"Ecca! Ecca!"
Aku yang sedang makan siang, dengan tangan belum dicuci aku segera meninggalkan meja makan dan menghampiri Tyo yang sedang diluar di atas sepeda tua milik bapaknya.
"Ayo cari kayu!"
"Tunggu ya, aku masih makan."
Aku kemudian segera kembali ke meja makan. Melanjutkan makan dengan tergesa-gesa hingga kakak tertuaku marah, menyuruhku makan dengan tidak ada suara. Aku hanya menunjukkan mataku tidak suka tapi tetap saja mau menurutinya dengan makan diam. Mama melihat Tyo di luar segera menyuruhnya masuk.
"Tyo, masuk dulu. Makan dulu yok!"
"Udah makan, Nanguda!"
"Ya, nonton di rumah lah dulu. Nessa masih lama makannya."

Tyo menurut, dia menjatuhkan sepedanya di halaman, dia sangat suka menonton. Di rumahnya tidak ada TV, biasanya dia menonton di rumah kami. Malam minggu biasanya dia tidur di rumah, maka dia akan menonton tiada hentinya. Dia sangat suka film dokumenter, padahal aku paling tidak suka. Sangat membosankan menurutku, apalagi dokumenter hewan. "Itu bisa menambah pengetahuan kita." Ucap Tyo yang bagiku kedengaran seperti ucapan Bapak guru yang sudah tua dan berkacamata. Karena bapak dan mama kasihan melihatnya yang sangat serius menonton Tv di rumah setiap malam minggu, maka mereka membiarkan Tyo menghabiskan malamnya dengan channel-channel tv yang diganti-ganti. Pernah aku menemaninya menonton, aku malah tertidur di atas tikar. Mataku tidak sanggup seperti matanya itu. Mungkin karena ketertarikannya untuk menonton itu yang membuatnya bertahan untuk menonton ya. Atau mungkin karena tidak ada tv di rumahnya dan dia bermaksud untuk menuntaskan malam itu dengan menonton. Ah entahlah. Tyo memang begitu orangnya. Dia itu seorang pelahap. Dia bisa membaca selama berjam-jam. Bisa konsentrasi akan film dan juga dia itu sangat lahap dengan makanan. Pokoknya Tyo itu dalam gambaranku sangat hebatlah.
"Ayo Tyo!" seruku. Aku malah yang sekarang berada di depan rumah dengan sepeda tua memanggilnya yang sedang asyik menonton. Tyo mendongak ke arahku dan bibirnya mengatakan. "O" dia kemudian berlari mengangkat sepedanya dan mengebut bersamaku. Kami berseru pamit kepada mama, dan mama balas berseru mengingatkan agar kami hati-hati dari ular dan hansip hutan.

Kami mencari kayu di hutan karet milik pemerintah. Kayu karet yang sudah mati sangat bagus dijadikan kayu bakar. Hanya saja kami harus memperhatikan keberadaan hansip. Walaupun kami tidak mencuri getah karet yang sangat mahal dijual itu, tetap saja mereka mengatakan kami adalah pencuri. Bila keadaan sudah aman, kami akan menyembunyikan sepeda tua di semak-semak. Sesudah itu, kami akan ebrlarian masuk ke hutan. Menengadah ke sana kemari mencari kayu karet yang sudah tua. Setelah melihat kayu karet yang sudah mati, maka kami akan memanjat menuju ranting yang akan kami jatuhkan. Cara kerjanya adalah memanjat, lalu mengguncangnya dengan menginjak-injak pohon itu hingga kayu itu semakin lama semakin goyang dan akhirnya bisa rubuh. Pekerjaan itu sangat membutuhkan kesabaran. Kadang ada semut yang menggerayangi tubuh kami, atau kadang juga laba-laba. Getah karet itu juga sangat bau sekali. Aku sangat muak di dalam kebun karet itu. Tapi itu semua terlupakan karena dalam hati hanya ingin menjadi lebih cepat merobokan kayu karet tersebut. Biasanya aku dan Tyo akan berlomba siapa yang paling cepat merobohkan kayu tersebut. Dia selalu menang, menyebalkan. Entah jenis apa kakinya itu. Kemudian setelah kayu karet itu roboh, kami segera meluncur turun dari pohon, dan kemudian menariknya kuat hingga benar-benar lepas dari pohonnya. Dan kemudian itulah yang kami bawa pulang setelah kami bersihkan dari daun-daunnya. Pulang dari mencari kayu lebih sulit daripada saat berangkat. Karena kami akan sangat kesusahan menggenjot sepeda dengan beban kayu karet yang diikat di bagian belakang sepeda. Belum lagi kalau jalananya sedang tidak bagus, kalau becek atau sedang hancur karena baru saja dijalani truk sawit  yang memiliki ban yang sangat besar. Maka perjalanan ini akan seperti perjalanan yang lebih sulit daripada perjalanan di film manapun. Tapi dengan Tyo denganku, semua kesulitan itu bisa berubah menjadi senyum karena melihat kesungguhannya menolongku.

Di kelas, Tyo adalah murid yang pandai, walau dia itu sebenarnya jarang mencatat pelajaran, biasanya dia akan membaca buku dengan wajahnya serius, atau dia mendengar penjelasan bu guru dengan sangat teliti, aku sangat geli melihatnya dengan wajah yang begitu. Tapi dia itu lebih banyak tidurnya daripada belajar. Entah apa yang dikerjakan di rumah sampai dia harus tertidur seperti itu, kasihan sekali kadang kelihatannya. Bila dia ingin tidur, biasanya dia pindah ke bangku paling belakang dan memulai ritualnya, tidur dengan buku yang menutupi. Tyo, tyo.

Tyo paling sering ke sawah, dan aku jadi ikut-ikutan ke sawah. Padahal aku paling malas kalau di suruh ke sawah. Ke sawah itu panas, karena harus mengenakan baju yang lengan panjang, juga harus membawa barang-barang ke sawah. Kadang bawa ember yang sangat besar, atau minuman, atau juga cangkul dan golok. Sungguh tidak menyenangkan sekali. Bahkan kalau pulang juga, harus bawa pisang, sayur, atau apalah sangat melelahkan. Tapi kalau kebetulan bersama dengan Tyo, rasanya sangat menyenangkan, dia akan bercerita banyak hal, atau dia akan membawakan aku mangga atau alpokat, entahlah dari sawahnya. Aku masih ingat saat kita berlari setengah mati demi dikejar hujan, ha ha ha, aku sangat ingat hal itu, Tyo seperti tentara skotlandia yang gagah, alih alih membawa pedang, dia sedang membawa buah pisang, hahahahaha. Sedang aku di belakangnya berusaha keras untuk mengimbangi langkah Tyo. Menyenangkan sekali di kenang. Dan kemudian bagian yang paling sedih di masa kecil adalah saat mendengar malam-malam Tyo dihajar oleh ayah kamu. Tyo memiliki ayah pemabuk, bila ayahnya sudah teler maka dia akan menghajar ibunya Tyo. Dan Tyo harus segera menolong ibunya dengan membiarkan dirinya menjadi sumber pelampiasan ayahnya. Sakit banget mendengar jeritan Tyo, aku hanya bisa terpaku di kamar sambil menangis seolah-olah aku turut merasakan pukulan  itu. Kemudian di kelas aku akan memandangi Tyo dengan sedih, dan tidak menanyakan kenapa lengannya biru-biru, karena aku tau bagaimana keadaan Tyo sebenarnya.

Tidak lama kemudian Tyo dilanda musibah, ayahnya terkena serangan jantung, dan dia pergi meninggalkan kami selamanya. Walaupun ada banyak kenangan buruk, tapi tetaplah dia adalah ayah Tyo. Tyo semakin pendiam, belajara lebih serius, hingga dia memperoleh ranking terbaik dan bea siswa. Kita berpisah sesudah Tyo mendapat kesempatan sekolah di STAN sedang aku harus puas kuliah di USI.

Dan kemudian Tyo di terima bekerja di PT bintang cakrawala ini, dan aku di sini sedang bersama pelamar lainnya mencoba peruntungan di sini.
"Saudara Nessa!" namaku dipanggil.

Aku mengetuk pintu, dan kemudian dipersilahkan masuk. Seseorang yang ingin menginterviewku sekarang sedang duduk di hadapanku. Wajahnya yang masih menunjukkan usia kepala dua itu memiliki garis yang sama dengan Tyo temanku mencari kayu dan ke sawah. Wajah itu sedang kaget sekarang, sama seperti wajahku.
"Ecca?" Tyo?
   

No comments:

Post a Comment